USLUB
A. Pengertian Uslub
Makna uslub ialah cara atau gaya bahasa yang dipakai oleh
seseorang untuk menuangkan pokok-pokok pikiran dan perasaannya melalui untaian
kata dan ditujukan kepada para pembaca dan pendengar. Ranah pembahasan uslub sebenarnya termasuk dalam pembahasan
tentang gramatika.
Dalam kasus bahasa Arab, kajian uslub ada dalam nahwu (sintaksis). Sebab, subtansi pembahasan uslub berkisar kepada pembahasan kalimat, juga merupakan wilayah nahwu, pembahasan uslub tidak dimasukkan dalam pembahasan struktur kalimat secara umum , namun diletakkan pada bab tersendiri. Misalnya bab al-Asalib al-nahwiyah. Berdasarkan kenyataan itu, uslub untuk sementara bias didefinisikan sebagai kalimat Arab yang memiliki orientasi gramatika yang berbeda dari kalimat gramatika Arab pada umumnya. Pengertian uslub yang berbasis nahwu inilah yang hendak digunakan dalam pembahsan kali ini.
Dalam kasus bahasa Arab, kajian uslub ada dalam nahwu (sintaksis). Sebab, subtansi pembahasan uslub berkisar kepada pembahasan kalimat, juga merupakan wilayah nahwu, pembahasan uslub tidak dimasukkan dalam pembahasan struktur kalimat secara umum , namun diletakkan pada bab tersendiri. Misalnya bab al-Asalib al-nahwiyah. Berdasarkan kenyataan itu, uslub untuk sementara bias didefinisikan sebagai kalimat Arab yang memiliki orientasi gramatika yang berbeda dari kalimat gramatika Arab pada umumnya. Pengertian uslub yang berbasis nahwu inilah yang hendak digunakan dalam pembahsan kali ini.
Dalam hal ini, tidak ada relevansi yang cukup kuat untuk
menyertakan perihal pembahasan definisi uslub atau semacamnya, misalnya, ada
tidaknya uslub (kalimat yang berorientasi lain) dalam bahasa Arab. Para pakar
nahwu tradisional sendiri telah membangun penjelasan (apologi) yang mencukupi,
yakni bahwa yang dikatakan uslub sesungguhnya sama dengan kalimat pada umumnya,
yakni terdiri dari S+P atau mubtada’+khobar dan fi’il fa’il.
Pembahasan uslub mencakup empat hal, yakni kalimat sumpah;
uslub ketakjuban; uslub pujian dan celaan; uslub anjuran dan larangan.
Masing-masing akan dibicarakan pada bagian dibawah ini.
1. Kalimat Sumpah (أسلوب
القسم)
Kalimat sumpah adalah kalimat yang dimaksudkan untuk
menguatkan pesan yang disampaikan untuk menggunakan perangkat-perangkat sumpah
antara lain ( و- ب- ت ) Cara menerjemahkan uslub kalimat
yang demikian kedalam bahasa Indonesia adalah dengan menggunakan kata demi…..
atau yang semakna dengannya.
Contoh
والله لا نجاح الا بالمجاهدة
والله لا نجاح الا بالمجاهدة
Diterjemahkan → Demi Allah, tidak ada suatu keberhasilan
kecuali dengan kerja keras.
تالله ان فاعل الخبر لمحبوب
Diterjemahkan→ Demi Allah, orang yang berbuat baik niscaya
dicintai, ( Disini kata inna dalam penerjemahannya dibuang karena
kata inna memiliki maksud yang sama dengan makna sumpah itu sendiri,
yakni menguatkan).
بالله ان انقنت لتنجحن العمل
Diterjemahkan → Demi Allah, apabila engkau menuntaskan
(menyempurnakan) kerja dengan baik niscaya engkau akan berhasil
2. Uslub ketakjuban(أسلوب
التعجب)
Uslub ketakjuban adalah gaya ungkapan yang dimaksudkan
untuk menyampaikan suatu ketakjuban, baik tentang seseorang, benda maupun yang
lainnya. Umumnya, gaya ungkapan ini disampaikan dengan dua pola : ما افعله — افعل به
. Cara menerjemahkan uslub yang demikian adalah dengan
kata ‘betapa’, ‘oh betapa’ atau kata-kata lain yang menunjukkan kekaguman.
Contoh :\
ما أجمل السماء
ما أجمل السماء
Diterjemahkan → Betapa indahnya langit itu
أجمل بالسماء
Diterjemahkan → Oh indahnya langit itu
ما أحسن الصدق
Diterjemahkan → Betapa mulia sikap jujur
أعظم بتقدم الصناعات في البلاد الأوربية
Diterjemahkan → Betapa maju perindustrian di negeri-negeri
Eropa
ماأكرم أن يقال الحق
Diterjemahkan → Betapa mulia apabila kebenaran disuarakan
Hal yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan penerjemah
salah memahami pemakaian gaya bahasa ta’ajub sebagai kata Tanya (pola
pertama) atau sebagai kata perintah (pola kedua).Karena secara kebahasaan
antara ta’ajub pola pertama (kata tanya) dan pola kedua (kata
perintah) dapat dikatakan sama persis.
Dalam hal ini, konteks kalimat amat menentukan pemaknaan pola tersebut, apakah ta’ajub berpola kata Tanya atau ta’ajub berpola kata perintah. Penerjemah dituntut cermat dengan melihat konteks kalimat sebelum dan sesudahnya. Kesalahan memahmi jenis pola ini amatlah fatal. Sebagai ilustrasi kesalahan ini , misalnya, jika contoh pertama diterjemahkan : Apa yang indah dari langit itu ?’ Kesalahan pemahaman tentang pola ini disebut-sebut sebagi legenda yang mendorong lahirnya ilmu Gramatika-Sintaksis Arab (Nahwu) oleh Abu Aswad al-Duali.
Dalam hal ini, konteks kalimat amat menentukan pemaknaan pola tersebut, apakah ta’ajub berpola kata Tanya atau ta’ajub berpola kata perintah. Penerjemah dituntut cermat dengan melihat konteks kalimat sebelum dan sesudahnya. Kesalahan memahmi jenis pola ini amatlah fatal. Sebagai ilustrasi kesalahan ini , misalnya, jika contoh pertama diterjemahkan : Apa yang indah dari langit itu ?’ Kesalahan pemahaman tentang pola ini disebut-sebut sebagi legenda yang mendorong lahirnya ilmu Gramatika-Sintaksis Arab (Nahwu) oleh Abu Aswad al-Duali.
3. Uslub Pujian dan Celaan (أسلوب
المدح والذم)
Uslub pujian dan celaan adalah gaya ungkapan yang
dimaksudkan untuk memberikan pujian ataupun celaan. Sebagian besar gaya
ungkapan ini menggunakan kata-kata نعم.atau بئس Cara penerjemahan dua kata tersebut adalah dengan
kata ’sebaik-baik’ , ‘seburuk-buruk’ atau semakna dengan keduanya.
Sebagai contoh :
نعم المستغرب حسن حنفى
Diterjemahkan → sebaik-baik tokoh oksidentalis adalah hasan
hanafi
بنس المستعمر هو لندا
Diterjemahkan → Seburuk-buruk penjajah adalah Belanda
نعم الرجالالصانع المجد
Diterjemahkan → sebaik-baik orang adalah pekerja yang
sungguh-sungguh
نعم خلقا الأمانة
Diterjemahkan → sebaik-baik budi pekerti adalah sifat amanah
نعم الصديق الكتاب
Diterjemahkan → sebaik-baik teman adalah buku
بنس القول شهادة الزور
Diterjemahkan → seburuk-buruk perkataan adalah kesaksian
palsu
Penerjemah seringkali salah menduga bahwa kata-kata kedua lafadz diatas
belum membentuk kalimat, namun masih merupakan frase. Memang susunan pola
kalimat ini potensial disalahpahami secara demikian . Harus dicatat bahwa
kata-kata setelah dua lafadz diatas biasanya telah membentuk kalimat
lengkap. Perhatikan contoh kalimat pertama. Kalimat tersebut sangat mungkin
disalah fahami sebagai satu frase idhafi. Sebagai implikasinya,
terjemahannya pun tentu kurang tepat, misalnya menjadi ‘ sebaik-baik seorang
pekerja yang sungguh-sungguh’.
4. Uslub Anjuran dan Larangan(أسلوب
الإغراء والتحذير)
Gaya ungkap ini lebih banyak digunakan dalam bahasa lisan
ketimbang bahasa tulis. Dalam bahasa tulis, uslub ini banyak dijumpai
dalam karya-karya sastra. Yang dimaksud gaya ungkap anjuran atau ighra’ adalah
gaya ungkap yang menganjurkan orang kedua agarmelakukan perbuatan-perbuatan
terpuji.
Sedangkan gaya ungkap larangan atau tahdzir, sebagai bandingannya, adalah peringatan kepada orang tua untuk menjauhi perbuatan tercela. Cara mengidentifikasi gaya ungkapan ini adalah dengan melihat bahwa suatu kalimat hanya terdiri dari suatu kata saja atau dua kata yang sejajar dan kesemuanya dibaca mansub. Cara menerjemahkan pola ini adalah dengan menggunakan kata-kata yang bermakna menganjurkan atau memperingatkan, misalnya’…lah’, ‘janganlah’, ‘sebaiknya’, ‘seyogyanya’, dan sebagainya.
Sedangkan gaya ungkap larangan atau tahdzir, sebagai bandingannya, adalah peringatan kepada orang tua untuk menjauhi perbuatan tercela. Cara mengidentifikasi gaya ungkapan ini adalah dengan melihat bahwa suatu kalimat hanya terdiri dari suatu kata saja atau dua kata yang sejajar dan kesemuanya dibaca mansub. Cara menerjemahkan pola ini adalah dengan menggunakan kata-kata yang bermakna menganjurkan atau memperingatkan, misalnya’…lah’, ‘janganlah’, ‘sebaiknya’, ‘seyogyanya’, dan sebagainya.
Contoh :
العدل
Diterjemahkan → berbuat adillah
الكذب
Diterjemahkan → Jangan berdusta
الصدق والإخلاص
الصدق والإخلاص
Diterjemahkan → Seyogyanya anda jujur dan ikhlas
النفاق والخيانة
Diterjemahkan → Sebaiknya engkau jauhi sifat munafik dan khiyanat.
Titik rawan kesalahpahaman pada pola ini adalah pada dugaan
bahwa ungkapan tersebut dipahami hanya sebagai satu katra atau dua kata yang
sejajar, bukan dipahami sebagai kalimat lengkap. Disinilah penerjemah harus
berhati-hati. Ungkapan-ungkapan seperti diatas itu nampaknya memang terdiri
dari satu kata atau dua kata sejajar, namun sebenarnya merupakan sebuah kalimat
lengkap, setidaknya dari aspek pesan yang dikandungnya.
Sebagai ilustrasi, misalnya, penerjemah salah memahami kalimat pertama, dankalimat ketiga pada contoh diatas, sehinggakalimat pertama (salah) diterjemahkan dengan ‘keadilan’, dan kaliamat ketiga (salah) diterjemahkan dengan ‘’kejujuran dan keikhlasan’’
Sebagai ilustrasi, misalnya, penerjemah salah memahami kalimat pertama, dankalimat ketiga pada contoh diatas, sehinggakalimat pertama (salah) diterjemahkan dengan ‘keadilan’, dan kaliamat ketiga (salah) diterjemahkan dengan ‘’kejujuran dan keikhlasan’’
B. Penyimpangan Gaya Bahasa
(العدول) artinya ‘penyimpangan’, penyimpangan dari
kaidah umum bahasa atau penggunaan bahasa yang berlaku umum.
(bunyi) العدول في الاصوات I
بما عا هد عليةالله
بما عا هد عليه الله-آ-
mengucapkan kata ( كسر
الها ء ) عليه Terasa ringan, karena sesuai dengan ketentuan asal
dalam membaca dhamir muttashil dan tetap akan terasa ringan walaupun bacaan
bersambung dengan kata (الله), menjadi (عليه الله ), tetapi mengucapkan عليه (ضم
الهاء) akan terasa berat, dan akan
terasa lebih berat bila bacaan itu bersambung dengan kata(الله)
menjadi(عليه الله) yang di sebut dengan bacaan (تفخيم).
Bacaan tafkhim tersebut mencerminkan perasaan beratnya
situasi dan kondisi yang dialami para sahabat seputar peeristiwa di hudaibiyah
yang menghasilkan janji setia para sahabat semua –kecuali orang munafik-
terhadap kebijaksaaan yang diambil pemimpin mereka, rosululloh saw.
Dengan kata lain, bagi pembaca termasuk kita sekarang, bacaan tafkhim ini dapat
merangsang untuk berimajinasi, melangkan pandangan kepada peristiwa yang kritis
ini. Suasana kebatinan kaum muslimin saat itu dan pengaruh psikologisnya dalam
diri pembaca tidak akan tertampung, jika tidak dilakukan penyimpangan (العدول) dari kaedah umum tentang dhamir yang
melahirkan bunyi ‘tafkhim’ yang berata itu.
(العدل في الآصوات:ب) استطاع-اسطاع -ب-.
فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا
= maka mereka (kaum ya’juj ma’juj) tidak bisa mendakinya
(mendaki benteng yang telah dibuat oleh zurkarnain), dan mereka tidak bisa
melobanginya.
Untuk makna tersebut dipilihlah kata (اسطاعوا)yang
menyimpang (العدول) dari bentukan yang lazim (استطاعوا). Kata (اسطاعوا)
yang menjadi pendek (karena hilang huruf ta’) dan menjadi lebih berat diucapkan
karena setelah bunyi (س) bersambung ke huruf (ط)
yang tafkhim mencerminkan tugas berat yang mesti dilakukan dengan tindakan
gerak cepat.
(bentuk kata) --العدول في البنية
الصرفية
Contoh
a. Kata benda (العا لم)
berdasarkan kaidah umum dijamakkan dalam bentuk (جمع
التكسير) yaitu (العوالم), tapi dalam surat al-fatihah: 2 terjadi (العدول) di bentuk dengan (جمع
المذكر السا لم)layaknya jamk mkhluk berakal, yaitu (العا
لمين)
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
= segala puji bagi alloh, tuhan semesta alam. Maha Pemurah
bagi Maha Penyayang.
Dari ayat ini dan ayat-ayat setelahnya, dipahami makhluk
Tuhan yang paling dominan, paling berperan dialam ini mesti makhluk yang
berakal, khususnya manusia. Untuk mengungkapkan makna ini maka diperlukan
‘penyimpangn’ dari jamak taksir (العوالم)
kepada jamak muzakkar salim (العا لمين). Kata (العا لم)
menurut kaidah sharf tidak bisa menjadi jamak berakal, karena bukan kata sifat,
dan bukan benda berakal. Dipihak lain dengan adanya (العدول),
maka ayat 2 ini bersajak dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
b. Menggunakan fiil mudhari (يرفع) untuk mengungkapkan masa lalu
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ
وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
=dan (ingatlah), ketika ibrahim meninggikan (membangun
dasar-dasar baitulloh bersama ismail...
Untuk itu dilakukanlah (العدول)
dengan menggunakan (يرفع) yaitu (فعل مضارع) yang menunjukan masa sekarang atau masa
yang akan datang. Andaikata fi’il madhi (رفع)
yang digunakan maka kenangan sepanjang zaman akan hilang, pembaca tidak akan
terangsang untuk meayangkan imajinasinya. Demikian sebaliknya menggunakan (فعل ماض) untuk masa yang akan datang, untuk
menunjukan ‘kepastian’ terjadi masa yang akan datang, seperti fi’il (اتي) dalam ayat ini.
أَتَى أَمْرُ اللَّهِ فَلا تَسْتَعْجِلُوهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
عَمَّا يُشْرِكُونَ
=(telah pasti) datang ketetapan alloh (hari kiamat), maka
janganlah kamu meminta agar disegerakan (datangnya)....
Ini sama dengan ungkapan ‘iqamah’ (قد قامت
الصلاة) padahal shalat belum dilaksanakan.
c. Menggunakan
jamak (جمع المذكر السا لم) dalam konteks perempuan, dalam ayat
berikut:
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا
فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ
وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ
=.... dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.
Untukk menampung makna atau kenyataan ini ungkapan ayat
tidak (وكا نت من القانتان), melainkan (وكانت من
القنتين). Ada pendapat lain yang hakikatnya menunjang, yaitu bahwa
makna (من) di sini menunjukan makna ‘sebagian’, artinya: dan dia adalah
berasal dari keturunan orang-orang (laki-laki) yang taat.
Di pihak lain dengan adanya (العدول),
ayat ini bersajak dengan ayat-ayat sebelumnya.
(- struktur kalimat-) العدول في التركيب النحوي
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
a. Disini
tampak (العدول) dalam bentuk perubahan secara tiba-tiba
dari uslub kalimat ‘berita’ ke uslub ‘dialog’. Terasa dialog, akibat adanya
peralihan atau ‘udul’ dari nama Yang Maha Agung (الله)
serta asmanya yang lain menjadi (ضمير مخاطب). Yaitu (اياك نعبد), tidak (اياه
نعبد).
Selain itu, secara struktur juga tampak ‘udul’ dengan
menempatkan objek (مفعول به) di awal kalimat dengan tujuan mendapatkan
penekanan makna menjadi “ hanya KepadaMu.”.
Dengan adanya dua macam ‘udul’ sekaligus dalam satu ayat,
makna surat al-fatihah secara keseluruhan nampak hidup, dan – sebagai surat
pertama dalam al-qur’an- dapat dipandang sebagai ‘ikrar’hamba kepada Maha
Pencipta Yang Maha pengasih dan Maha Penyayang.
b. (tidak
ada jawab syarat) ولئن كفرتم
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ
وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
=dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
“sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu,
dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”
Sebagaiman diketahui, dunia ini tempat bekerja dan berjuang,
bukan tempat balasan. Balasan amal di hari kiamatlah (=يووم
الحساب) tempatnya. Jadi di dunia ini orang kufur nikmat belum tentu di
kurangi nikmat dunianya, bahkan tidak sedikit mereka yang karena lebih pintar
serta teerampil mencari harta benda, malah tambah berlimpah harta kekayaannya.
Itulah sebabnya ungkapan ‘syarat’ pada kalimat kedua tidak ada jawabnya (......ولئن كفرتم). andaikata ada jawab syarat, boleh jadi
akan timbul pemahaman yang tidak cocok dengan prinsip ‘rohman’ Tuhan di dunia
sebagai (رب العا لمين), seperti yang dikemukakan dalam uraian
tentang fashahah ayat (الحمدلله رب العالمين) yang lalu.
(makna semantik) العدول
الدلالي
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
= hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaiman diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa
Dalam ayat ini terdapat ‘udul’ bukan dalam struktur kalimat,
tetapi dalam makna (dalali, semantik), yaitu walaupun ayat ini tampil
dengan gaya kalimat berita (=خبرية), tapi maknanya bukan berita (=إنسائية), yaitu ‘perintah ‘ kewajiban puasa bulan
ramadhan.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ
بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُون
= dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Alloh mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Alloh mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Alloh
untukmu, dan makn minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam
mesjid. Itulah larangan Alloh, maka janganlah kamu mendekatinya...
Sejalan dengan pendapat para muffasirin, dalam ayat diatas
terdapat beberapa ‘udul’ dari segi makna, sebagai berikut:
1. Kata (الرفث) semula berarti segala apa yang diinginkan
seorang laki-laki terhadap iterinya, lalu dengan gaya kiasan (كتابة)
berarti ‘jimak’, dan kiasan termasuk ke dalam bentuk (العدول)
2. Dalam
ungkapan: (باشرو هن) dan (ولا تبا
شروهن) terdapat ‘udul’ dengan menggunakan kinayah: (المباشرة:
تباشر-باشر) bermakna ‘jimak’.
3. ‘udul’
dari ‘perintah’ fi’il amar (كلواواشربوا) menjadi ‘ibahah’ (=boleh) makan dan
minum. Lalu kata ‘benanga putih’ (الخيط الابيض)kinayah ‘siang hari’,
dan ‘benang hitam’ (=الخيط الاشود) kinayah ‘malam hari’
4. Ungkapan (فلا تقربوها) merupalkan gaya hiperbol (المبالغة), dan gaya bahasa seperti ini dapat di
kategorikan ke dalam ‘udul’. Mubalaghah dalam arti ‘mendekati saja dilarang,
apalagi melakukannya’, seperti mubalaghah dalam melarang berzina: ولاتقربواالزنا
Komentar
Posting Komentar